[Makalah] Organisasi dan Pendidikan Islam di Indonesia
Sobat New Generations....
Ini sobat bagi yang membutuhkan makalah untuk mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam (SPI) yang sempat saya buat dahulu ketika diperkuliahan. Silahkan disimak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Organisasi Islam dan
Pendidikan Islam di Indonesia
a. Al-Jam’iat
Al-Khairiyah
Organisasi
yang lebih dikenal dengan nama Jam'iat Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17
Juli 1905. Anggota organisasi ini mayoritas orang-orang Arab, tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk setiap muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal
usul. Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ialah (1)
pendirian dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar; dan (2) pengiriman
anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.
Sekolah dasar Jam’iat Khair bukan
semata-mata mempelajari pengetahuan agama tetapi juga mempelajari pengetahuan
umum lainnya seperti lazimnya suatu sekolah dasar biasa, misalnya berhitung,
sejarah(umumnya sejarah islam), ilmu bumi, dan sebagainya. Untuk memenuhi
tenaga guru yang berkualitas Jam’iat Khair mendatangkan guru-guru dari
daerah-daerah lain bahkan dari luar negeri untuk mengajar di sekolan tersebut.
Pada bulan Oktober 1911 tiga orang guru dari negeri-negeri Arab bergabung ke
Jam’iat Khair. Mereka adalah Syeikh Ahmad Surkati dari Sudan , Syekh Muhammad Taib dari
Maroko, dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Makkah.
Menyusul
kemudian pada Oktober 1913 empat orang guru sahabat-sahabat Surkati dan salah
seorang diantaranya adalah saudara kandungnya sendiri, yaitu Muhammad Abdul
Fadal Ansari (saudara kandung Surkati), Muhammad Noor (Abdul Anwar) al-Ansari,
Hasan Hamid al-Ansari, dan seorang lagi yang kemudian diperuntukkan bagi
Jam’iat Khair yang didirikan di Surabaya, yaitu Ahmad al Awif.
b. Al-Islah Wal
Irsyad
Pendiri-pendiri
Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru
sebagai tempat meminta fatwa ialah Syeikh Ahmad Surkati yang segian besar dari
umurnya dicurahkannya bagi penelaahan pengetahuan. Al-Irsyad sendiri
menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab,
ataupun pada permasalahan yang timbul dikalangan masyarakat Arab, walaupun
orang-orang Indonesia Islam bukan Arab, ada yang menjadi anggotanya. Lambat
laun dengan bekerja sama dengan organisasi islam yang lain, seperti
Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat
perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup
persoalan Islam umumnya yang ada di Indonesia. Ia juga turut serta dalam
berbagai kongres al Islam pada tahun 1920 an dan bergabung pada Majelis Islam
A’la Indonesia ketika federasi ini didirikan pada tahun 1937. pemuda pemuda Indonesia
asli juga mempergunakan fasilitas Al-Irsyad dalam bidang pendidikan.
Murid-murid Al-Irsyad, pada
tahun-tahun pertama didirikan, terdiri dari anak-anak kalangan Arab dan
sebagian juga (walau dalam jumlah yang sangat kecil)
anak-anak Indonesia asli
dari Sumatra dan Kalimantan . Kemudian lebih
banyak laga anak-anak Indonesia
yang masuk sekolah itu. Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi lain,
Al-Irsyad juga mempergunakan tablig dan pertemuan-pertemuan sebai cara untuk
menyebarkan pahamnya, ia juga menerbitkan beberapa buah buku dan
pamphlet-pamflet. Dengan melalui media masa ini Al-Irsyad menyebarluaskan
gagasan-gagasan pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam dengan berpedoman pada
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Masalah-masalah agama yang berasal dari
gerakan Al-Irsyad sangat menggemparkan masyarakat Islam, karena bertentangan
dengan keyakinan yang ada pada waktu itu.
c. Persyerikatan
Ulama
Persyerikatan
ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di
daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif Kyai
Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Cibelerang Majalengka. KHA Halim
memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun
diberbagai pesantren di daerah Mjalengka. Kemudian ia pergi ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Enam bulan setelah kembali
dari Makkah pada tahun 1991, KHA Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia
beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak, baik di bidang ekonomi maupun di bidang
pendidikan. Hayatul Qulub tidaklah berlangsung lama. Pada tahun 1916 dirasakan
perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti penghulu
dan para pembantunya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang yang
bersifat modern. Demikianlah sebuah sekolah dengan nama Jam’iat I’anat
al-Muata’alimin didirikan, dan kemudian
diganti menjadi Persyerikatan Ulama yang diakui sah secara hukum oleh
pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S. Cokroaminoto (Pimpinan Serikat
Islam). Pada tahun 1924 Persyarikatan
Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura,
dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres
Persyerikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga
didirikan yang akan melengkapi pelajaran-pelajarannya bukan saja dengan
berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga
dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan
pertanian, bergantung dari bakat masing-masing.
d. Muhammadiyah
Salah satu
organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia
Sebelum Perang
Dunia II dan mungkim juga sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah.
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan
dengan tanggal 18 Zulhijjah 1330 H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang
diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organisasi ini mempunyai maksud
“menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada seluruh penduduk bumi
putera”
Dan memajukan hal
agama Islam kepada anggota-anggotanya, untuk mencapai hal itu organisasi ini
bermaksud mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan,
mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam,
menertibkan wakaf dan mendirikan masjid-masjid serta menertibkan buku-buku,
brosur-brosur surat
kabar dan majalah-majalah.
Dalam mengarahkan
kegiatan-kegiatannya, organisasi ini dalam tahun-tahun pertama tidak mengadakan
pembagian tugas yang jelas diantara anggota pengurus. Hal ini semata-mata
disebabkan oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu sampai
sekurang-kurangnya tahun 1917 pada daerah Kauman,Yogyakarta
saja. KHA Dahlan sendiri aktif
bertablig, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, aktif dalam memberikan
bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti
salat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan
dana dan pakaian untuk mereka. Daerah operasi organisasi MNuhammadiyah mulai
diluaskan setelah tahun 1917. dalam tahun 1927 Muhammadiyah mendirikan
cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin dan
Amuntai, sedang pada tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan Makassar .
Kegiatan lain dalam bentk
kelembagaan yang berada dibawah organisasi Muhammadiyah ialah: PKU, Aisyiah,
Hizbul Watan, dan majlis Tarjih. Pada masa Indonesia merdeka, Muhammadiyah
mendirikan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah berlipat ganda banyaknya dari masa
penjajahan Belanda dahulu. Menurut siaran Muhammadiyah jumlah sekolah
agama/madrasah Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1)
Madrasah Ibtidaiyah : 412 buah
2)
Madrasah Sanawiyah : 40 buah
3)
Madrasah Diniyah (Awaliyah ) : 82 buah
4) Madrasah Mu’allimin : 73 buah
5)
Madrasah Pendidikan Guru Agama : 75 buah
e. Nahdatul Ulama
Nahdatul
Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (33 Januari 1926) di Surabaya.
Pembangunnya ialah dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Di antaranya ialah:
1)
K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
2)
K.H Abdul Wahab Hasbullah
3)
K.H Bisri Jombang
4)
K.H Ridwan Semarang
5)
K.H Nawawi Pasuruan
6)
K.H.R. Asnawi Kudus
7)
K.H.R Hambali Kudus
8)
K. Nakhrawi Malang
9)
K.H.Doromuntaha Bangkalan
10)
K.H.M.Alwi Abdul Azis
11)
Dan lain-lain.
Susunan pengurus
NU yang pertama adalah sebagai berikut:
Ra’isul Akbar : K.H. Hasyim Asy’ari
Wakil Ra’isul
Akbar : K.H. Dahlan
Katib Awal : K.H. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Sani : K.H. Abdul
Halim
A’wan : K.H.M. Alwi Abdul
Azis
A’wan : K.H. Ridwan
Musytasyar : K.H.R. Asnawi
Mustasyar : K.H. Ridwan
Maksud perkumpulan NU ialah memegang
teguh salah satu mahzab dari Imam yang berempat, yaitu: (1) Syafi’I (2) Maliki
(3) Hanafi dan (4) Hambali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan
kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk mencapai maksud itu, maka
diadakan ikhtiar:
1)
Mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang
bermahzab tersebut di atas.
2)
Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar,
supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunah Wal Jama’ah
atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
3)
Menyiarkan agama Islam berasaskan pada mahzab tersebut
diatas dengan jalan apa saja yang baik.
4)
Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang
berdasarkan agama Islam.
5)
Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan
masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok.
6)
Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan
pertanian,perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama
Islam.
Demikian
maksud dan tujuan NU sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar 1926(yaitu sebelum
menjadi pertain politik). Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, NU
membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan bidang ini dengan nama
Al-Ma’arif yang bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di
lembaga-lembaga pendidikan/sekolah-sekolah yang berada dibawah nauangan NU.
Dalam salah satu keputusan dari suatu Konferensi Besar Al-Ma’arif NU seluruh Indonesia
yang berlangsung pada tanggal 23-26 Pebruari 1954, ditetapkan susunan
sekolah/madrasah Nahdatul Ulama sebagai berikut:
1.
Raudatul-Atfal (Taman
Kanak-kanak) lamanya 3 tahun.
2.
SR ( Sekolah Rendah)/SD lamanya 6 tahun.
3.
SMP NU lamanya 3 tahun.
4.
SMA NU lamanya 3 tahun.
5.
SGB NU lamanya 4 tahun.
6.
SGA NU (SPG-sekarang) lamanya 3 tahun.
7.
MMP NU (Madrasah Menengah Pertama) lamanya 3 tahun.
8.
MMA NU (Madrasah Menengah Atas) lamanya 3 tahun.
9. mu’allimin/mu’allimat
NU lamanya 5 tahun.
g. Persatuan
Islam
Persatuan Islam (Persis)
didirikan di Bandung
pada permulaan
tahun
1920-an. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat
kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kelompok
yang berasal dari Sumatra tetapi telah lama tinggal di Bandung .
Perhatian Persis terutama ialah bagaimana menyebarkan
cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum,
tablig, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mndirikan sekolah-sekolah dan
menyebarkan atau menerbitkan pamphlet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab.
Penerbitannya inilah yang terutama menyebarluaskannya daerah penyebaran
pemikirannya. Dalam kegiatan ini Persis beruntung memperoleh dukungan dan
partisipasi dari dua orang tokoh yang penting, yaitu Ahmad Hasan dan Mohammad
Natsir. Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan
perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tablig, serta
publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang
mulanya di maksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian
madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain.
Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan
pendidikan Islam, sebuah proyek yang
dilancarkan oleh Natsir, dan yang terdiri dari beberapa buah sekolah. Di
samping pendididkan Islam, Persis mendirikan sebuah pesantren (disebut
pesantren Persis) di Bandung
pada bulan Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan
untuk menyebarkan agama.
2.2 Jenis-jenis
Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
a) Lembaga
pendidikan Islam sebelum kemerdekaan Indonesia .
Pendidikan islam mulai bersemi dan
berkembang pada awal abad ke-20 Masehi dengan berdirinya madrasah Islamiyah
yang bersifat formal.
Madrasah-madrasah yang bermunculan di
Sumatera antara lain: Madrasah Adabiyah di Padang Sumatera Barat yang didirikan
oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Madrasah ini berubah menjadi HIS
Adabiyah pada tahun 1915 M. Pada tahun 1910 M didirikan Madrasah School di
daerah Batu Sangkar Sumatera Barat oleh Syeikh M. Thaib Umar. Pada tahun 1918 M
Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai lanjutan Madrasah School .
Di Jambi didirikan pesantren dan
madrasah Nurul Iman. Pada tahun 1913 M, oleh H. Abd. Somad, seorang ulama besar
keluaran Makkah. Madrasah Sa’adah al Darain didirikan oleh H. Achmad Syakur,
Madrasah Nurul Islam oleh H. M. Shaleh, Madrasah Juharain oleh H. Abd. Majid
pada tahun 1922 M.
Adapun situasi pendidikan Islam di Jawa
pada permulaan abad ke 20 secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut:
Pada tahun 1899 M berdirilah pondok
pesantren Tebuireng Jombang oleh K.H. Hasyim Asy’ari, madrasahnya yang formal
berdiri pada tahun 1919 M bernama Salafiah diasuh oleh K.H. Ilyas. Madrasah ini
memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum.
Sesudah pondok Tebuireng, maka menyusul
pondok Tambak Beras di Jombang oleh K.H. Wahab Hasbullah dan pondok Rejoso
Peterongan Jombang oleh K.H. Tamin pada tahun 1919 M. Kedua pondok tersebut
juga mempunyai madrasah yang formal.
Pondok pesantren Gontor berdiri tahun
1926 oleh K.H. Imam Zarkasy dan K.H. Sahal. Di Kudus berdiri Madrasah Aliyah,
Sanawiyah Muawanatul Muslimin pada tahun 1915 oleh Syarikat Islam, Madrasah
Kudsiyah pada tahun 1918 oleh K.H.R. Aswawi, Madrasah Taywiqut Tullab pada tahun
1928 oleh K.H.A. Khaliq, Madrasah Ma’ahidul Diniyah pada tahun 1938. dan masih
banyak lagi lembaga pendidikan di daerah-daerah lain di Indonesia sebelum
kemerdekaan.
b) Lembaga
pendidikan Islam sesudah kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai
Departemen Agama, maka secara instansional Departemen Agama diserahi kewajiban
dan bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama
dalam lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam ada yang
berstatus negeri dan ada yang berstatus swasta.
2.3
Tokoh-tokoh
Pendidikan Islam di Indonesia
a)
Kyai Haji
Ahmad Dahlan (1896-1923)
K.H. Ahmad Dahlan
dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 M
dengan
nama kecilnya Muhammad Darwis, putra dari KH. Abubakar bin Kyai Sulaiman,
khatib di masjid besar (jami’) Kesultanan Yogyakarta .
Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, seorang penghulu.
Setelah ia menamatkan pendidikan
dasarnya disuatu madrasah dalam bidang nahwu, fiqh dan tafsir di Yogyakarta, ia
pergi ke Makkah pada tahun 1890 dan ia menuntut ilmu di sana selama satu tahun.
Salah seorang gurunya Syeikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia mungunjungi
kembali ke Makkah dan kemudian menetap disana selama dua tahun.
Sepulang dari Makkah yang pertama ia
telah bertukar nama dengan Haji Ahmad Dahlan. Tiada berapa lama kemudian ia
menikah dengan Siti Walidah putrid Kyai penghulu Haji Fadhil.
Semenjak ayahnya wafat, ia
menggantikan kedudukan ayah dan diangkatlah oleh Sri Sultan menjadi Khatib
masjid besar Kauman Yogyakarta dan dianugerahi
gelar Khatib Amin. Di samping jabatannya yang resmi itu, ia menyebarkan agama
dengan menyebarkan agama dimana-mana. Beberapa tahun kemudian ia naik haji
untuk kedua kalinya (1903). Sekembali dari haji yang kedua inilah ia mendapat
sebutan Kyai dari masyarakatnya, semenjak itu dimana-mana ia terkenal dengan
nama Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Ia adalah seorang alim yang luas
ilmunya yang tiada jemu-jemu ia menambah ilmu dan pengalamannya. Dimana saja
ada kesempatan, sambil menambah atau mencocokan ilmu yang telah diperolehnya.
Cita-cita Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, ialah
hendak memperbaiki masyarakat Indonesia
berlandaskan keyakinan beliau ialah bahwa untuk membangun masyarakat bangsa
haruslah terlebih dahulu di bangun semabgat bangsa. Kalau Sarekat Islam
usaha-usahanya ditekankan kepada bidang politik yang berlandaskan cita-cita
agama. Muhammadiyah menekankan usahanya kepada perbaikan hidup beragama dengan
amal-amal pendidikan dan sosial.
KHA. Dahlan pulang ke rahmatullah
pada tahun 1923 M tanggal 23 Pebruari, dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan
sebuah organisasi Islam yang cukup besar dan disegani karena ketegarannya.
b)
Kyai Haji
Hasyim Asy’ari (1871-1974)
KH
Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 14 Pebruari tahun 1981 M di Jombang Jawa
Timur, mula-mula ia belajar agama Islam pada ayahnya sendiri Kyai Asy’ari.
Kemudian ia belajar ke pondok pesantern di Purbolinggo, kemudia pindah lagi ke
Plangitan, Semarang ,
Madura, dan lain-lain.
Sewaktu ia belajar di Siwalan Panji
(Sidoarjo) pada tahun 1891, Kyai Ya’kub
yang mengajarnya tertarik kepada tingkah lakunya yang baik dan sopan santunnya
yang halus, sehingga ingin mengambilnya sebagai menantu, dan akhirnya ia
dinikahkan dengan putri Kyainya itu yang bernama Khadijah (tahun 1892). Tidak
lama kemudian ia pergi ke Makkah bersama istrinya untuk menunaikan ibadah Haji
dan bermukim selama satu tahun, sedang istrinya meninggal disana.
Pada kunjungannya yang ke dua ke
Makkah ia bermukim selama 8 tahun untuk menuntut ilmu agama islam dan bahasa
Arab. Sepulang dari Makkah ia membuka pesantren untuk mengamalkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuannya, yaitu pesantren Tebuireng di Jombang (padfa
tanggal 26 Rabi’ul Awal tahun 1899 M).
Pembaharuan Tebuireng yang pertama
adalah dengan mendirikan madrasah Salafiyah (tahun 1919) sebagai tangga untuk
memasuki tingkat menengah pesantren Tebuireng. Pada tahun 1929 KH Hasyim
Asy’ari menunjuk KH Ilyas menjadi kepala madrasah Salafiyah. Jasa KH Hasyim
Asy’ari selain daripada mengembangkan ilmu di pesantren Tebuireng ialah
keikutsertaanya mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bahkan ia sebagai
Syeikhul Akbar dalam perkumpulan ulama yang terbesar di Indonesia .
KH Hasyim Asy’ari wafat atau pulang
ke rahmatullah pada tanggal 25 Juli 1947 M dengan meninggalkan sebuah
peninggalan yang monumental berupa pondok pesantren Tebuireng yang tertua dan
terbesar untuk kawasan Jawa Timur.
c)
KH Abdul
Halim (1887-1962)
KH
Abdul Halim lahir di Ciberelang, Majalengka pada tahun 1887 M. Dia adalah
pelopor gerakan pembaharuan di daerah syerikatan Ulama, dimulai pada tahun
1911., yang kemudian berubah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) pada tanggal 5
April 1952 M atau 9 Rajab 1371 H. Ketika masih berumur 10 tahun ia mempelajari
Qur’an dan Hadis di pesantren KH Anwar di desa Ranji Wetan, Majalengka.
Guru-gurunya di Makkah termasuk Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Ahmad Khayyat.
Ketika di Makkah ini pula ia berkenalan dengan KH Abdul Wahab, pendiri Nahdatul
Ulama.
Sebuah organisasi yang bergerak
dalam bidang ekonomi dan pendidikan berhasil didirikan KHA Halim pada tahun
1911 (sepulang dari Makkah) yang diberi nama Hayatul Qulub yang kemudian dialih
nama dengan Persyerikatan Ulama. Pada umumnya KHA Halim berusaha untuk
menyebarkan pemikirannya dengan toleransi dan penuh pengertian. Dikemukakan
bahwa ia tidak pernah mengecam golongan tradisi ataupun orang lain atau
organisasi lain yang tidak sepaham dengan dia. Talignya lebih banyak merupakan
anjuran untuk menegakkan etika di dalam masyarakat dan bukan merupakan kritik tentang
pemikiran ataupun pendapat orang lain.
Pada tanggal 7 Mei 1962 KHA Halim
pulang ke rahmatullah di
Majalengka
Jawa Barat dalan usia 75 tahun dan dalam keadaan tetap berpegang teguh pada
mazhab Syafi’i.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Organisasi Islam dan Pendidikan Islam di Indonesia ada
6yaitu:
Ø
Al-Jami’at Al Khairiyah
Ø
Al-Islah Wal Irsyad
Ø
Persyerikatan Ulama
Ø
Muhammadiyah
Ø
Nahdatul Ulama
Ø
Persatuan Islam
2.
Jenis-jenia Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia ada 2
yaitu:
Ø
Lembaga Pendidikan Islam sebelum kemerdekaan indonesia
Ø
Lembaga Pendidikan Islam sesudah Indonesia
merdeka
3.
Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Indonesia yaitu:
Ø
Kyai Haji Ahmad Dahlan (1869-1923)
Ø
Kyai Haji Hasyim Asy’ari ( 1871-1947)
Ø
KH Abdul Halim (1887-1962)
Ø
Dan masih amat banyak tokoh-tokoh pendidikan
Islam lainnya.
3.2
Saran
Berdasarkan
pembahasan dalam makalah ini penyusun dapat memberikan saran sebagai berikut:
·
Agar dapat ikut serta atau berperan aktif dalam
memajukan pendidikan Islam di Indonesia.
·
Agar dapat melakukan mengkaji lebih dalam
tentangorganisasi,lembaga dan tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia