(Skripsi) BAB II. Pengaruh Penggunaan Metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa
A. Landasan
Teori
1. Belajar dan Hasil Belajar
Hampir semua ahli psikologis pendidikan
mempunyai definisi sendiri-sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan belajar.
Definisi ini sering berbeda satu sama lain, tergantung tekanan yang mereka
berikan didalam proses dan kegiatan belajar tersebut. Pada umumnya, pengertian
belajar dapat dibagi kedalam dua jenis pandangan, yaitu pandangan tradisional
dan pandangan modern.
Menurut pandangan tradisional, “Belajar
adalah usaha memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan”.[1]
Dalam pandangan ini pengetahuan mendapat tekanan yang sangat penting. Untuk
memperoleh pengetahuan, maka siswa harus mempelajari berbagai mata pelajaran di
sekolah. Dalam hal ini “buku pelajaran”
atau bahan bacaan menjadi sumber pengetahuan yang utama. Sehingga sering
ditafsirkan, bahwa belajar berarti mempelajari buku bacaan. Dengan membaca buku bacaan, siswa akan mengetahui
dan menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Sehingaa akan ada perbedaan antara
siswa yang belajar dengan siswa yang tidak belajar.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT :
...قُلْ هَلْ
يَسْتَوِى آلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَآلَّذِينَ لَايَعْلَمُونَ إِنَّمَايَتَذَكَّرُأُوْلُواْآلْاَلْبَبِ
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az Zumar: 9)[1]
Sedangkan belajar menurut pandangan modern adalah “Proses perubahan tingkah
laku berkat interaksi dengan lingkungan”.[2] Perubahan tingkah laku ini disebabkan oleh
proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis atau proses kematangan. Perubahan
yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan-perubahan dalam kebiasaan,
kecakapan-kecakapan (skill) atau lebih dikenal dengan ketiga aspek yakni
pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik).
Hilgard dalam buku Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi mengemukakan :
“Learning is the process by which
an activity originatates or changed through training procedurs (whether in the
laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by
factors not attributable to training”. Belajar itu adalah proses perubahan
melalui kegiatan atau prosedur latihan baik latihan di dalam laboratorium
maupun dalam lingkungan alamiah.[3]
Pendapat lain tentang belajar
dikemukakan oleh Slameto yang menyatakan bahwa “Belajar ialah suatu proses
usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya”.[4]
Lebih lanjut Slameto mengemukakan
ciri-ciri dari perubahan tingkah laku tersebut menjadi 6 kategori, yaitu :
- Perubahan terjadi secara sadar.
- Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional.
- Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif.
- Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
- Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah.
- Perubahan mencangkup seluruh aspek tingkah laku.[5]
Dari berbagai pendapat di atas
mengenai pengertian belajar dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah suatu
proses aktif perubahan tingkah laku seseorang yang terjadi akibat adanya usaha
yang dilakukan oleh orang itu sendiri menuju kearah yang lebih sempurna.
Dalam setiap kegiatan untuk
mencapai suatu tujuan selalu diikuti dengan pengukuran dan penilaian, demikian
juga halnya dengan proses belajar. Didalam proses belajar juga terdapat
pengukuran dan penilaian.
Pengukuran merupakan suatu proses
pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yag dimiliki
oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas.[6]
Sedangkan menurut Weeden,
“Penilaian didefinisikan sebagai proses pengumpulan tentang kinerja siswa,untuk
digunakan sebagai dasar dalam membuat keputusan”.[7]
Setelah menjalani proses
pembelajaran, seorang siswa akan memperoleh hasil dari proses belajar yang
telah dilakukan yang dinamakan hasil belajar. Hasil belajar yaitu hasil yang
menggambarkan kemampuan yang diperoleh anak setelah melakukan kegiatan belajar.
Hasil inilah yang akan menjadi ukuran tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
2. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
Learning)
Isjoni dalam buku Cooperative Learning Efektifitas
Pembelajaran Kelompok mengemukakan:
Cooperative learning
atau pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham konstruktivisme. Cooperative learning merupakan
strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang
tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas dan kelompoknya, setiap
siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk
memahami materi pelajaran. Dalam cooperative
learning, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam
kelompok belum menguasai bahan pelajaran.[8]
Sedangkan menurut Robert E.
Slavin yang mengungkapkan tentang pembelajaran kooperatif sebagai berikut :
Pembelajaran kooperatif merujuk
pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam
mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan
dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah
pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman
masing-masing.[9]
Jadi dalam model pembelajaran
kooperatif siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial
dengan temannya untuk mencapai tujuan pembelajaran, sementara guru bertindak
sebagai motivator dan fasilitator. Artinya dalam pembelajaran ini kegiatan
pembelajaran aktif dibangun sendiri oleh siswa dan mereka bertanggung jawab
atas hasil pembelajarannya.
Dengan melaksanakan model
pembelajaran cooperative learning,
memungkinkan siswa dapat meraih keberhasilan dalam belajar, di samping itu juga
melatih siswa untuk memiliki keterampilan, baik keterampilan berfikir (thingking skill) maupun keterampilan
sosial (social skill). Sebagai contoh
keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran dan masukan orang
lain, bekerjasama dalam kelompok, rasa setia kawan dan bertanggung jawab dalam
kelompoknya.
Hal ini sejalan dengan tujuan
utama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif yang dikemukakan oleh
Isjoni, yaitu :
Tujuan utama dalam penerapan
model cooperative learning adalah agar
peserta didik dapat belajar secara kelompok bersama teman-temannya dengan cara
saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok”.[10]
Al qur’an sangat mendorong
permusyawarahan dan memuji kaum mukmin yang mengadakan musyawarah untuk
memecahkan persoalan yang mereka hadapi dengan harapan sampai ditemukan
kebenaran dan perwujudan keadilan.
Firman Allah SWT :
وَالَّذِينَ
اَسْتَجَابُواْلِرَبِّهِمْ وَأَقَامُواْالصَّلَوَةَوَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّارَزَقْنَهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya : Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Asy Syura
: 38)[1]
Dari kandungan ayat tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa melalui dialog, diskusi dan permusyawaratan
seseorang akan dapat mengarahkan pikiran untuk menemukan dan memilih solusi
yang tepat atas segala permasalahan yang sedang dikaji. Sama halnya belajar
kooperatif, siswa diminta untuk berdiskusi agar menemukan ide dan membuat
keputusan yang bijak dalam menyelesaikan tugas yang diberikan guru.
Pada prinsipnya prosedur
pembelajaran kooperatif terbagi atas empat tahapan, yaitu:
1. Penjelasan
materi.
Tahap penjelasan
diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa
belajar dalam kelompok.
2. Belajar dalam
kelompok.
Setelah guru
menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi pelajaran, selanjutnya
siswa diminta belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk
sebelumnya.
3. Penilaian
Penilaian dalam
SPK bisa dilakukan dengan tes atau kuis. Tes atau kuis dilakukan baik secara individual
maupun secara kelompok
4. Pengakuan Tim
Pengakuan tim (team recognition) adalah penetapan tim
yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian
diberikan penghargaan atau hadiah.[2]
3. Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division
(STAD)
Model pembelajaran Tipe Student Team Achievement Division
(STAD) dikembangkan pertama kali
oleh Robert E. Slavin di John Hopkin Universitas. “Gagasan utama dari STAD
adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu
sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru.”[1]
Isjoni menambahkan bahwa STAD “…
merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan
interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam
menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.[2]
Student Team Achievement Division
(STAD) terdiri atas lima komponen utama, yaitu :
a. Presentasi
Kelas.
Pembelajaran dengan menggunakan
metode Student Teams Achievement
Divisions (STAD) diawali dengan presentasi kelas atau memperkenalkan materi
kepada siswa. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering kali
dilakukan atau didiskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru. Tetapi bisa juga
memasukkan presentasi audiovisual. Dengan cara ini, para siswa akan menyadari
bahwa mereka harus benar-benar memperhatikan penuh selama presentasi kelas,
karena akan membantu mereka dalam mengerjakan kuis-kuis.
b. Tim
Tim terdiri dari empat atau lima
siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademis, jenis
kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa
semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk
mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Kegiatan tim
dalam pembelajaran kooperatif tipe Student
Teams Achievement Divisions (STAD) adalah membahas permasalahan,
membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim
ada yang membuat kesalahan.
c. Kuis
Pada tahap ini, para siswa
diminta untuk mengerjakan kuis-kuis secara individual setelah siswa
melaksanakan proses pembelajaran. Siswa tidak diberi kesempatan untuk saling
membantu sesame anggota timnya sehingga setiap siswa bertanggungjawab secara
individual untuk memahami materinya.
d. Skor Kemajuan
Individual
Gagasan dibalik skor kemajuan
individual adalah untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat
dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih
baik dari pada sebelumnya. Tiap siswa diberikan skor “awal” yang diperoleh dari
rata-rata kinerja siswa tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis yang sama.
Setelah itu skor tersebut dibandingkan dengan skor setelah mengerjakan kuis.
Para siswa mengumpulkan poin
untuk tim mereka berdasarkan tingkat dimana skor kuis mereka (presentase yang
benar) melampaui skor awal mereka :
Tabel 2.1
Pedoman Pemberian Skor Perkembangan Individu
Skor Kuis
|
Poin Kemajuan
|
a. Lebih dari 10 poin dibawah skor awal
b. 10 hingga 1 poin dibawah skor awal
c.
Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal
d.
Lebih dari 10 poin di atas skor awal.
e.
Kertas jawaban sempurna (terlepas dari skor
awal)
|
5
10
20
30
30
|
e. Rekognisi
Tim
Tahap terakhir pada pembelajaran
kooperatif tipe STAD adalah penghargaan kepada tim yang memenuhi kriteria tertentu.
Setiap poin kemajuan yang diperoleh siswa memberikan kontribusi poin untuk tim
mereka. Tiga macam tingkatan penghargaan diberikan di sini. Ketiganya
didasarkan pada rata-rata skor tim, yaitu Tim Baik, Tim Sangat Baik, dan Tim
Super.
Kriteria ini merupakan satu
rangkaian sehingga untuk menjadi Tim Sangat Baik sebagian besar anggota tim
harus memiliki skor di atas skor awal mereka, dan untuk menjadi Tim Super
sebagian besar anggota tim harus memiliki skor setidaknya sepuluh poin di atas
skor dasar mereka.[1]
Menurut uraian rekognisi tim yang
telah disampaikan oleh Slavin diatas, maka penulis dapat memberikan kriteria yang
digunakan untuk menentukan pemberian penghargaan terhadap kelompok adalah
sebagai berikut :
Tabel. 2.2
Kriteria Pemberian Penghargaan Kelompok
Kriteria (Rata-rata
Tim)
|
Penghargaan
|
5 – 10 Poin
10, 5 – 20 Poin
20,5 – 30 Poin
|
Tim Baik
Tim Sangat Baik
Tim Super
|
Berdasarkan penjabaran mengenai
pembelajaran kooperatif STAD, dapat disimpulkan bahwa STAD model pembelajaran
kooperatif yang dapat diterapkan untuk memotivasi siswa untuk berani
mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan
pendapat. STAD tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang
sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemajuan berpikir kritis,
bekerja sama, dan membantu teman didalam kelompoknya.
4. Keunggulan dan Kelemahan Metode Kooperatif Tipe
Student Team Achievement Division (STAD)
Sebagai salah satu strategi pembelajaran kooperatif Student Team
Achievement Division (STAD) memiliki keunggulan-keunggulan, yaitu :
- Melalui SPK siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri.
- SPK dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
- SPK dapat membantu anak untuk respek kepada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
- SPK dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
- SPK merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatka prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial.
- Melalui SPK dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahaman sendiri, menerima umpan balik.
- SPK dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (rill).
- Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir.[1]
Selain keunggulan-keunggulan
diatas, Student Team Achievement Division (STAD) sebagai salah satu tipe
didalam strategi pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan, yaitu :
- Untuk memahami dan mengerti filosofis SPK memang butuh waktu. Sangat tidak rasional kalau kita mengaharapkan secara otomatis siswa dapat mengerti dan memahami filafat cooperative learning.
- Ciri utama dari SPK adalah siswa saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai siswa.
- Penilaian yang diberikan didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa.
- Keberhasilan SPK dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang.
- Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu idealnya melalui SPK selain siswa belajar bekerja sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu dalam SPK memang bukan pekerjaan yang mudah.[2]
5. Model Pembelajaran Konvensional (Ekspositori)
Strategi
pembelajaran ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan kepada
proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok
siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.[1]
Didalam model
pembelajaran ini materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Siswa tidak
dituntut untuk menemukan materi. Materi pelajaran seakan-akan sudah jadi. Disini
guru memegang peran yang sangat dominan. Dengan makin
banyaknya muncul model-model pembelajaran baru, model pembelajaran konvensional
ini dianggap sebagai model pembelajaran kuno dan monoton. Karena proses
pembelajaran yang dilakukan didalam kelas hanya berkisar guru menyampaikan
materi, memberikan contoh, dan mengakhiri pembelajaran dengan memberikan
pekerjaan rumah atau tugas.
a).Langkah-Langkah
dalam Penerapan Strategi Ekspositori (Konvensional).
Adapun
langkah-langkah dalam penerapan strategi ekspositori (konvensional) adalah
sebagai berikut:
1. Persiapan (preparation).
Keberhasilan pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan strategi ekspositori sangat tergantung pada
langkah persiapan. Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan adalah :
- Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif.
- Membangkitkan motivasi dan minat siswa untuk belajar.
- Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa.
- Menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.
2. Penyajian (Presentation).
Langkah penyajian
adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah
dilakukan. Yang harus dipikirkan oleh setiap guru dalam penyajian ini adalah
bagaimana agar materi pelajaran dapat dengan mudah ditangkap dan dipahami oleh
siswa.
3. Korelasi (Correlation)
Langkah korelasi
adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau
dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya
dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya.
4. Menyimpulkan (Generalization)
Menyimpulkan
adalah tahapan untuk memahami inti (core)
dari materi pelajaran yang telah disajikan. Langkah menyimpulkan merupakan
langkah yang sangat penting dalam strategi ekspositori, sebab melalui langkah
menyimpulkan siswa akan dapat mengambil inti sari dari proses penyajian.
5. Mengaplikasikan
(Aplication)
Langkah aplikasi adalah langkah
unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Langkah ini
sangat penting, karena melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan
informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Teknik
yang biasa dilakukan pada langkah ini di antaranya dengan membuat tugas dan tes
yang relevan dengan materi yang telah disajikan.[2]
b).Keunggulan dan Kelemahan Model
Pembelajaran Konvensional (Ekspositori)
Strategi pembelajaran ekspositori
merupakan strategi pembelajaran yang banyak dan sering digunakan. Hal ini
disebabkan strategi ini memiliki beberapa keunggulan, diantaranya :
- Dengan strategi pembelajaran ekspositori guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
- Strategi pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas.
- Melalui strategi pembelajaran ekspositori selain siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang suatu materi pelajaran, juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).
- Keuntungan lain adalah pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.[3]
Adapun kelemahan
dari model pembelajaran ekspositori
adalah sebagai berikut :
- Strategi pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
- Strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat dan bakat serta perbedaan gaya belajar.
- Karena strategi lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis.
- Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung kepada apa yang dimiliki oleh guru, seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri, semangat, antusiasme, motivasi, dan berbagai kemampuan mengelola kelas.
- Oleh karena gaya komunikasi strategi pembelajaran lebih banyak terjadi satu arah (one-way communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa akan materi pembelajaran akan sangat terbatas pula.[4]
B. Kerangka
Pikir
Didalam pembelajaran dikelas, hasil belajar akan berbeda hasilnya jika
seorang guru dalam proses pembelajarannya tidak memperhatikan metode yang
digunakan. Misalnya saja penggunaan metode tidak disesuaikan dengan jenis
bahan/materi yang diajarkan. Guru hanya menggunakan metode yang itu-itu saja,
seperti hanya yang terjadi pada kegiatan pembelajaran konvensional yang hanya menitik
beratkan pada penggunaan metode ceramah sebagai metodenya. Di dalam
pembelajaran konvensional siswa bertindak pasif dan monoton sehingga kegiatan
belajar menjadi kurang menarik. Berawal dari kegiatan pembelajaran yang kurang
menarik, menyebabkan siswa menjadi malas belajar, tidak ada motivasi dan
akhirnya tidak senang mengikuti pelajaran tersebut.
Dengan kata lain bahwa tinggi rendahnya hasil belajar siswa sangat
dipengaruhi oleh ketepatan guru menggunakan metode di dalam proses belajar
mengajar. Hal ini didasarkan oleh pendapat Slameto yang mengungkapkan bahwa
“Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi belajar siswa yang
tidak baik pula.”[1]
Banyak sekali jenis metode pembelajaran yang dapat digunakan dan
divariasikan dalam proses belajar mengajar. Salah satu metode yang diharapkan
dapat meningkatkan partisipasi siswa agar lebih aktif dalam kegiatan belajar
mengajar adalah metode STAD (Student Team
Archievement Division).
Metode ini merupakan salah satu tipe strategi pembelajaran kooperatif yang
menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling
memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai
prestasi yang maksimal.
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata hasil belajar siswa
terhadap pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) akibat
menggunakan metode konvensional yang dilakukan oleh guru bidang studi
matematika dan metode STAD, maka penulis melakukan proses belajar mengajar.
Untuk itu dibentuk dua kelompok yaitu Kelompok I (kelompok eksperimen) adalah
kelompok yang diajarkan dengan menggunakan metode STAD dan kelompok II
(kelompok kontrol) yaitu kelompok yang diajarkan dengan menggunakan
pembelajaran konvensional (ekspositori). Selanjutnya akan dianalisis hasil
evaluasi kedua kelas tersebut, dalam hal ini rata-rata hasil belajar
menggunakan metode STAD diduga lebih baik dipakai dalam mengajar bidang studi
matematika pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV)
dibandingkan menggunakan pembelajaran konvensional (ekspositori) yang digunakan
guru mata pelajaran matematika di MTs Ma’arif 04 Rumbia. Hal ini dikarenakan
pada penggunaan metode STAD lebih menekankan pada adanya aktivitas dan
interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam
menguasai materi pelajaran. Sehingga penggunaan metode STAD dapat memberikan
pengaruh dan membantu siswa untuk mencapai hasil belajar matematika yang
maksimal.
Adapun paradigma dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Paradigma penelitian perbandingan metode
kooperatif tipe STAD dengan metode konvensional terhadap hasil belajar matematika.
Gambar. 2.3 Paradigma penelitian
perbandingan
X1 = Kelas Eksperimen (Pembelajaran
menggunakan metode STAD)
X2 = Kelas Kontrol (Pembelajaran
menggunakan metode konvensional)
Y1 = Hasil belajar kelas ekperimen
Y2 = Hasil belajar kelas kontrol
2. Paradigma
penelitian pengaruh metode kooperatif tipe STAD terhadap hasil belajar
matematika.
Gambar. 2.4 Paradigma penelitian pengaruh
X = Pembelajaran menggunakan metode STAD
Y = Hasil belajar matematika
C. Hipotesis
Penelitian
Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka
berpikir maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut :
Tidak terdapat perbedaan rata-rata hasil
belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode kooperatif Tipe Student
Team Achievement Division (STAD) dan yang diajar menggunakan metode
konvensional (ekspositori) pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
pada siswa kelas VIII Semester Ganjil MTs Ma’arif 04 Rumbia Lampung Tengah
Tahun Pelajaran 2012/2013.
Terdapat perbedaan
rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode
kooperatif Tipe Student Team Achievement Division (STAD) dan yang diajar
menggunakan metode konvensional (ekspositori) pokok bahasan Sistem Persamaan
Linear Dua Variabel pada siswa kelas VIII Semester Ganjil MTs Ma’arif 04 Rumbia
Lampung Tengah Tahun Pelajaran 2012/2013
Rata-rata hasil
belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan metode kooperatif Tipe Student
Team Achievement Division (STAD) kurang dari rata-rata hasil belajar yang menggunakan metode konvensional
(ekspositori) pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel pada siswa
kelas VIII Semester Ganjil MTs Ma’arif 04 Rumbia Lampung Tengah Tahun Pelajaran
2012/2013
Rata-rata hasil
belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan metode kooperatif Tipe Student
Team Achievement Division (STAD) lebih besar dari rata-rata hasil
belajar yang menggunakan metode
konvensional (ekspositori) pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
pada siswa kelas VIII Semester Ganjil MTs Ma’arif 04 Rumbia Lampung Tengah
Tahun Pelajaran 2012/2013
Tidak ada Pengaruh
penggunaan metode kooperatif Tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) terhadap hasil
belajar siswa kelas VIII semester I MTs Ma’arif 04 Rumbia Lampung Tengah pokok
bahasan sistem persamaan linear dua variabel tahun pelajaran 2012/2013
Ada Pengaruh
penggunaan metode kooperatif Tipe Student Teams Achievement
Divisions (STAD) terhadap hasil
belajar siswa kelas VIII semester I MTs Ma’arif 04 Rumbia Lampung Tengah pokok
bahasan sistem persamaan linear dua variabel tahun pelajaran 2012/2013.
[1]
Slameto, Op. Cit., Hlm. 65
[1]
Robert E. Slavin, Op. Cit., Hlm.143 -
160
[1] Departemen
Agama RI, Op. Cit., Hlm. 1306
[2]
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),
Hlm. 246 - 247
[1] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya Transliterasi
Arab-Latin Model Perbaris, (Semarang: CV. Asy Syifa, 2001), Hlm.
1234
[2] Oemar
Hamalik, Op.Cit., Hlm. 41
[3]
Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Hlm.
89
[4]
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2003), Hlm. 2
[5] Ibid, Hlm. 3 - 4
[6]
Harun Rasyid dan Mansur, Penilaian Hasil
Belajar, (Bandung:
CV Wacana Prima, 2008), Hlm. 9
[7] Ibid, Hlm. 7
[8]
Isjoni, Cooperative Learning Efektifitas
Pembelajaran Kelompok, (Bandung:
Alfabeta, 2010), Hlm. 11 – 12
[9]
Robert E. Slavin, Cooperative Learning
Teori, Riset dan Praktek, (Bandung:
Nusa Media, 2005), Hlm. 4
[10]
Isjoni, Op.Cit., Hlm. 6
[1] Oemar Hamalik, Media Pendidikan, (Bandung: Alumni, 1986),
Hlm. 40