Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Sunan Ampel / Raden Rahmat

Sobat New Generations....
Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sunan Ampel berasal dari Kerajaan Champa dan merupakan anak dari Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dengan Putri Kerajaan Champa. Kerajaan Champa sendiri telah diislamkan berkat Maulana Malik Ibrahim.

Pada tahun 1443, Sunan Ampel hijrah ke Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, Sunan Ampel mendirikan Pondok Pesanteren di daerah Ampeldenta, Surabaya. Sunan Ampel lalu menikah dengan Putri Adipati tuban yang bernama Nyai Ageng Manila. Dari hasil pernikahan ini lahirlah 4 anak yang bernama Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang kelak dijadikan istri oleh Sunan Kudus.

Penyebaran Agama Islam

Masjid Sunan Ampel
Makam Sunan Ampel
Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ''kesibukan'' harian kaum bangsawan --pun rakyat kebanyakan. Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ''Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,'' kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ''Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,'' Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa --kini wilayah Kamboja.

Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari. Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23. Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah). Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel.

Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban. Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah. Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel. Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang --dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ''salat'' diganti dengan ''sembahyang'' (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ''langgar'', mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri --orang yang tahu buku suci agama Hindu. Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ''Sunan Ampel'' mulai populer.

Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ''Moh Limo''. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim). Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.

Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus. ''Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?'' kata Sunan Ampel. ''Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.'' Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak. Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali.

Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa. Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. 


Pada tahun 1421, Sunan Ampel wafat di Demak dan dimakamkan di Ampeldenta, tak jauh dari Masjid Ampel yang juga didirikan oleh Sunan Ampel

Murid-Murid Sunan Ampel yang Terkenal
Sebagaimana disebutkan dimuka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.

Kisah Mbah Sholeh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan luar biasa. Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Disebelah timur mesjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan satu orang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh.

Makam Mbah Soleh
Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah seorang tukang sapu mesjid Ampel dimasa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di mesjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya. Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur didepan mesjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai mesjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh mesjid itu lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel, bila Mbah Soleh masih hidup tentulah mesjid ini menjadi bersih. Mendadak Mbah Soleh ada dipengimaman mesjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantaipun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.

Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya yang dulu. Mesjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggalkan dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.

Kisah Mbah Sonhaji

Makam Mbah Bolong
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.

Kisahnya demikian, pada waktu pembangunan mesjid Agung Ampel Mbah Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman mesjid tidak menghadap arah kiblat. Tapi setelah pembangunan pengimaman itu jadi banyak  orang yang meragukan keakuratannya.

Apa betul letak pengimaman mesjid ini sudah menghadap ke kiblat? Demikian tanya orang meragukan pekerjaan Mbah Sonhaji.

Mbah Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata, lihatlah kedalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?.

Orang-orang itu segera melihat kedalam lubang yang dibuat oleh Mbah Sonhaji. Ternyata didalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang ada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Mbah Sonhaji lagi. Dan sejak itu mereka bersikap hormat kepada Mbah Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.

Salam,
Yang Muda Yang Terdepan